Senin, 20 Maret 2017

Tugas 2 (MIAD)

Nama: Nabila Sari Permata
Kelas: 1PA12
NPM: 18516113
MITOS



1.      Pernikahan antara Sunda dan Jawa yang disebabkan oleh Perang Bubat

è Ini merupakan kebanyakan alasan mengapa orang Sunda dan Jawa dilarang menikah, dan sampai sekarang masih dipegang teguh oleh beberapa gelintir orang. Tidak bahagia, hidup melarat, dan hubungan yang tidak langgeng merupakan hal yang tidak baik yang akan menimpa orang yang melanggar mitos ini.


Belum tahu pasti darimana asal muasal mitos larangan ini muncul, namun banyak sekali masyarakat Sunda dan Jawa yang berasumsi atau mempercayai bahwa mitos ini berasal dari Perang Bubat.



Perang Bubat merupakan suatu tragedi yang diawali oleh niatan seorang Prabu yang bernama Hayam Wuruk yang ingin memperistri seorang putri yang bernama Dyah Pitaloka Citraresmi dari daerah (atau masih bisa dibilang kerajaan pada jaman itu) Sunda. Banyak yang berkata bahwa ketertarikan prabu terhadap putri tersebut disebabkan oleh meluasnya lukisan fotografi putri yang dilukis secara diam-diam oleh seniman pada waktu itu yang bernama Sungging Prabangkara ketika beliau berada di Majapahit.



Sang Prabu memang berniat untuk memperistri Dyah Pitaloka dengan alasan politik, yaitu sebagai pengikat persekutuan dengan daerah Sunda. Dan dengan restu dari keluarga kerajaan Majapahit, sang prabu-pun mengirimkan surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana untuk melamar sang putri yang akan dilangsungkan di Majapahit.



Maharaja Linggabuana lalu berangkat bersama pasukan yang berasal dari Sunda menuju Majapahit dan diterima serta ditempatkan di Pesanggrahan Bubat. Raja Sunda kemudian datang ke Bubat beserta permaisuri dan sang putri dengan diiringi oleh sedikit prajurit.



Menurut Kidung Sundyana, muncullah niatan Mahapatih Gajah Mada untuk menguasai Kerajaan Sunda. Gajah Mada ingin memenuhi Sumpah Pala yang dibuatnya pada masa sebelum sang Prabu naik tahta, sebab dari berbagai kerajaan di Nusantara yang sudah ditakhlukkan oleh Majapahit, hanya kerajaan Sunda lah yang masih belum ditakhlukan.



Dengan maksud tersebut, Gajah Mada membuat suatu alasan untuk menganggap bahwa kedatangan rombongan Sunda di Pesangggrahan Bubat adalah bentuk penyerahan diri Kerajaan Sunda kepada Majapahit. Gajah Mada pun mendesak sang Prabu untuk menerima sang Putri bukan sebagai pengantin, tetapi sebagai tanda takhluk Negeri Sunda dan pengakuan kekuasaan Majapahit atas Sunda di Nusantara pada saat itu. Sang Prabu-pun bimbang atas masalah yang ditimbulkan oleh Gajah nada tersebut, mengingat bahwa Gajah Mada merupakah Mahapatih yang diandalkan oleh Majapahit pada era itu.

Pihak Padjajaran tidak terima bila kedatangannya ke Majapahit hanya menyerahkan Dyah Pitaloka sebagai taklukan. Kemudian terjadi insiden perselisihan antara utusan Linggabuana dengan Gajah Mada.

Perselisihan ini diakhiri dengan dimaki-makinya Gajah Mada oleh utusan Negeri Sunda yang terkejut bahwa kedatangan mereka hanya untuk memberikan tanda takluk dan mengakui superioritas Majapahit, bukan karena undangan sebelumnya. Namun Gajah Mada tetap dalam posisi semula.


Tradisi menyebutkan sang Putri Dyah Pitaloka dengan hati berduka melakukan bela pati atau bunuh diri untuk membela kehormatan bangsa dan negaranya. Menurut tata perilaku dan nilai-nilai kasta ksatria, tindakan bunuh diri ritual dilakukan oleh para perempuan kasta tersebut jika kaum laki-lakinya telah gugur. Perbuatan itu diharapkan dapat membela harga diri sekaligus untuk melindungi kesucian mereka, yaitu menghadapi kemungkinan dipermalukan karena pemerkosaan, penganiayaan, atau diperbudak.


Hayam Wuruk pun kemudian meratapi kematian Dyah Pitaloka. Akibat peristiwa Bubat ini, bahwa hubungan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada menjadi renggang. Gajah Mada sendiri menghadapi tentangan, kecurigaan, dan kecaman dari pihak pejabat dan bangsawan Majapahit, karena tindakannya dianggap ceroboh dan gegabah. Mahapatih Gajah Mada dianggap terlalu berani dan lancang dengan tidak mengindahkan keinginan dan perasaan sang Mahkota, Raja Hayam Wuruk sendiri.

Tragedi perang Bubat juga merusak hubungan kenegaraan antar Majapahit dan Pajajaran atau Sunda dan terus berlangsung hingga bertahun-tahun kemudian. Hubungan Sunda-Majapahit tidak pernah pulih seperti sedia kala.

Pangeran Niskalawastu Kancana, adik Putri Dyah Pitaloka yang tetap tinggal di istana Kawali dan tidak ikut ke Majapahit mengiringi keluarganya karena saat itu masih terlalu kecil dan menjadi satu-satunya keturunan Raja yang masih hidup dan kemudian akan naik takhta menjadi Prabu Niskalawastu Kancana.

Kebijakan Prabu Niskalawastu Kancana antara lain memutuskan hubungan diplomatik dengan Majapahit dan menerapkan isolasi terbatas dalam hubungan kenegaraan antar kedua kerajaan. Akibat peristiwa ini pula, di kalangan kerabat Negeri Sunda diberlakukan peraturan larangan estri ti luaran (beristri dari luar), yang isinya di antaranya tidak boleh menikah dari luar lingkungan kerabat Sunda, atau sebagian lagi mengatakan tidak boleh menikah dengan pihak Majapahit. Peraturan ini kemudian ditafsirkan lebih luas sebagai larangan bagi orang Sunda untuk menikahi orang Jawa



2.      Bersiul pada Malam Hari akan Mengundang Jurig

è Ini merupakan mitos umum yang cukup terkenal karena orangtua selalu melarang anggota keluarganya untuk bersiul pada malam hari. Berdasarkan kisah dari keluarga saya ini berawal dari perjalanan Resi Palasara yang bertemu dengan seorang Raja Makhluk Halus benama Prabu Gandarwaraja Swala.



Sang Raja bercerita tentang putranya yang bernama gandarwa supatra yang sangat nakal sekaligus sangat memalukan bagi seorang Raja yang terhormat, kenakalan tersebut yakni suka mengganggu para istri bangsa manusia, selain itu sang raja juga mengeluh bahwa anaknya itu tidak dapat dinasehati dan juga sangat pemarah.



Maka sang Resi pun berjanji untuk membantu menyelesaikan permasalahan sang Prabu gandarwaraja swala tersebut. Setelah dipanggil oleh Sang Gandarwaraja swala, gandarwa supatra pun akhirnya datang menghadap ayahandanya dan dipertemukanlah ia dengan Sang Resi Palasara. Singkat cerita gandarwaraja swalapun takhluk dan bersedia menjadi abdi bagi sang Resi dan berjanji untuk berhenti daei kenakalannya menggodai para isteri bangsa manusia, tidak hanya itu sang gandarwa supatra pun bahkan bersedia untuk ikut berkelana dan mengabdi kepada sang Resi Palasara.



Sang Prabu Gandarwaraja swala pun bersenang hati dan merasa berhutang budi pada Sang Resi Palasara, sang Raja juga berjanji akan selalu membantu sahabatnya itu kapanpun dibutuhkan, untuk memanggilnya Sang Raja Makhluk Halus tersebut berpesan cukup dengan bersiul saja, maka Sang Prabu Gandarwaraja swala akan segera datang kehadapannya. Setelah berpesan demikian maka Sang Gandarwaraja swala pun menghilang kembali ke kerajaannya.



Prabu Gandarwraja Swala tersebut adalah Pemuka para gandarwa, yakni suatu jenis makhluk halus yang dikenal memiliki kesaktian yang cukup dahsyat yakni dapat mendatangkan angin topan dan badai yang besar sehingga dapat menerbangkan suatu pasukan sekalipun.



Dan secara turun temurun dalam lanjutan kisah pewayangan tersebut, Gandarwaraja swala pun selalu setia untuk datang dan membantu hingga pada era para keturunan sahabatnya itu, Ritualnya tetap sama seperti yang dilakukan oleh sang Resi Palasara, yakni cukup bersiul untuk mengundangnya.

3.      Berlama-lama di kamar mandi

è Akan memanggil atau berteman dengan makhluk halus dan terlihat lebih tua dari umur yang sebenarnya.



4.      Memakai Payung di Dalam Rumah menyebabkan Malapetaka
Dengan membuka payung di dalam rumah menandakan akan kesialan dan juga mendatangkan roh jahat yang ingin mencelakai keluarga.

 Sumber:
https://www.merdeka.com/peristiwa/tragedi-perang-bubat-mitos-orang-jawa-dilarang-kawin-dengan-sunda.html
http://mhariwijaya.blogspot.co.id/2008_02_03_archive.html


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Matematika dan Ilmu Alamiah Dasar Tugas 9

Nama  : Intan Justitia Dewi Top of Form Bottom of Form Kelas  : I PA 12 NPM  : 18516337 The Great Blue Hole, Jurang Terdalam ...