Hubungan Antara Manusia, Cinta
Kasih, dan Kebudayaan
Oleh:
Rikayanti/Psikologi/16516415
1. Manusia, cinta kasih, kebudayaan.
·
Manusia
merupakan makhluk hidup yang diciptakan Tuhan Yang Maha Esa, yang segambar dan
serupa dengan Allah. Memiliki akal budi dan kehendak yang bebas.
·
Cinta kasih merupakan perpaduan dua kata
yang memiliki pengertian tersendiri walaupun mengandung arti yang hampir sama. Cinta
lebih mengandung pengertian tentang rasa yang mendalam, sedangkan kasih
merupakan pengungkapan untuk mengeluarkan rasa, mengarah pada orang atau yang
dicintai.
Cinta
kasih adalah rasa
sangat suka atau rasa sayang yang tercipta dari hubungan timbal balik antar
manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungan,
manusia dengan makhluk ciptaan Tuhan lainnya.
·
Kebudayaan
merupakan kumpulan
tradisi yang tercipta, terkumpul dan terpelihara dalam sebuah masyarakat.
2.
Hubungan
antara Manusia, Cinta Kasih dan Kebudayaan
Ada
manusia ada cinta kasih maka terciptalah kebudayaan. Hubungan ketiganya
sangatlah erat sekali, harus saling berpegangan. Dimana manusia sebagai
pencipta dan pengguna kebudayaan dan cinta kasih itu sendiri. Seperti yang
dikatakan Herkovits, kebudayaan
adalah bagian dari lingkungan hidup yang diciptakan oleh manusia. Manusia dalam
hidup kesehariannya tidak akan lepas dari kebudayaan dan cinta kasih. Manusia
hidup karena adanya kebudayaan, sementara itu kebudayaan akan terus hidup dan
berkembang manakala manusia mau
melestarikan kebudayaan dan bukan merusaknya. Oleh sebab itu, manusia harus
memiliki rasa suka, atau rasa sayang terhadap suatu budaya, hidupkanlah rasa
keinginan untuk memiliki dan mengembangkan budaya itu sendiri. Dengan demikian
manusia dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena dalam
kehidupannya tak mungkin tidak berurusan dengan hasil kebudayaan, setiap hari
manusia melihat dan menggunakan kebudayaan, bahkan kadangkala disadari atau
tidak manusia merusak kebudayaan.
Menurut
Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, mengatakan bahwa kebudayaan adalah
semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Dalam defenisi yang dikemukakan
oleh Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi ini, dapatlah disimpulkan bahwa
kebudayaan itu merupakan hasil dari usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan
jasmani dan rohani agar hasilnya dapat digunakan untuk keperluan masyarakat, misalnya:
a) Karya
(kebudayaan material) yaitu kemampuan manusia untuk menghasilkan benda atau
lainnya yang berwujud benda.
b) Rasa,
didalamnya termasuk agama, ideology, kebatinan, kesenian, dan semua unsur
ekspresi jiwa manusia yang mewujudkan nila-nilai sosial dan norma-norma sosial.
c) Cipta
merupakan kemampuan mental dan berpikir yang menghasilkan ilmu pengetahuan.
Dari
sisi lain, hubungan antara manusia dan kebudayaan ini dapat dipandang setara
dengan hubungan antara manusia dengan masyarakat dinyatakan sebagai dialektis,
maksudnya saling terkait satu sama lain. Proses dialektis ini tercipta melalui
tiga tahap yaitu:
Ø Eksternalisasi
Proses dimana manusia mengekspresikan dirinya dengan
membangun dunianya. Melalui eksternalisasi ini masyarakat menjadi kenyataan
buatan manusia.
Ø Obyektivasi
Proses dimana masayarakat menjadi realitas
obyektif, yaitu suatu kenyataan yang
terpisah dari manusia dan berhadapan dengan manusia. Dengan demikian masyarakat
dengan segala pranata sosialnya akan mempengaruhi bahkan membentuk perilaku
manusia.
Ø Internalisasi
Proses dimana masyarakat disergap kembali oleh
manusia. Maksudnya bahwa manusia mempelajari kembali masyarakatnya sendiri agar
dia dapat hidup dengan baik, sehingga manusia menjadi kenyataan yang dibentuk
oleh masyarakat.
3.
Contoh
Kebudayaan yang berkaitan dengan Cinta Kasih terhadap sesama Manusia dan
terhadap Tuhan
·
Perayaan
Satu Suro di Keraton Yogyakarta dan Surakarta
Masyarakat Jawa khususnya di Yogyakarta dan Solo
(Surakarta) masih menjalankan tradisi malam satu Suro, malam tahun baru dalam
kalender Jawa yang dianggap sakral bagi masyarakat Jawa. Malam satu Suro sangat
lekat dengan budaya Jawa. Iring-iringan rombongan masyarakat atau yang biasa
disebut kirab menjadi salah satu hal yang biasa kita lihat dalam ritual tradisi
ini. Para abdi dalem keraton hasil kekayaan alam berupa gunugan tumpeng serta
benda pusaka mennjadi sajian khas dalam iring-iringan kirab yang biasa
dilakukan dalam tradisi Malam Satu Suro.
Di Solo, biasanya dalam perayaan malam satu Suro
terdapat hewan khas yakni kebo (kerbau) bule yang menjadi salah satu daya tarik
bagi warga yang menyaksikan perayaan malam satu Suro. Keikutsertaan kebo bule
ini konon dianggap keramat oleh masyarakat setempat.
Di Yogyakarta perayaan malam satu Suro biasanya
identik dengan membawa keris dan benda pusaka sebagai bagian dari iring-iringan
kirab.
Tradisi malam satu Suro menitikberatkan pada
ketentraman batin dan keselamatan. Karenanya, pada malam satu Suro biasanya
selalu diselingi dengan ritual pembacaan doa dari semua umat yang hadir
merayakannya. Hal ini bertujuan untuk mendapat berkah dan menangkal datangnya marabahaya.
·
Perayaan
Mandok Hata Bagi Orang Batak
Mandok Hata adalah masa-masa berkontemplasi. Masyarakat
Batak hanya melakukannya saat pergantian tahun. Bagi sebagian orang Batak, hal
ini sama atau bahkan lebih penting dari perayaan Natal. Biasanya kebanyakan
orang yang merayakan tahun baru dengan pesta, atau berkumpul bersama teman-teman
untuk bakar-bakar jagung dan bercengkrama. Namun, beda halnya dengan pergantian tahun bagi masyarakat Batak adalah
waktunya Mandok Hata. Bagi orang Batak yang kental, acara Mandok Hata ini
merupakan momen Tahun baru yang sangat penting, dimana keluarga besar berkumpul
dan masing-masing orang dapat mengeluarkan semua ganjalan yang ada di hati,
dari yang tua sampai yang muda, semuanya mengeluarkan unek-unek, bahkan sampai
mengeluarkan air mata. Karena dalam acara ini, orang bisa mengatakan apa yang
tidak disukai dan harapan ke tiap masing-masing orang.
Mandok Hata adalah tradisi turun temurun yang sudah
dilakukan sejak lama. Tradisi ini semakin kental setelah agama Kristen diterima
sebagian besar masyarakat Batak. Menariknya beberapa Batak muslim pun
menerapkan tradisi ini. Namun, tergantung pada keputusan keluarga
masing-masing.
Ketika memasuki waktu tengah malam sebagai tanda
pergantian tahun, keluarga Batak akan berkumpul dan melakukan kebaktian kecil
di dalam rumah. Dalam kebaktian tersebut, semua orang berdoa dan merenung dalam
khidmat. Setelahnya baru Mandok Hata dilakukan dan kemudian ditutup dengan doa.
Pengungkapan saat Mandok Hata itu ibarat intropeksi diri selama setahun
terakhir. Dengan mengungkapkan perasaan, diharapkan pribadi akan menjadi lebih
mawas diri, bersyukur, serta lebih dekat dengan Tuhan dan keluarga.
·
Upacara
Adat Seren Taun di Cigugur-Kaki Gunung Ciremai (Wujud Syukur dan Cinta
Lingkungan Hidup)
Upacara adat Seren Taun adalah ungkapan syukur dan
doa masyarakat Sunda atas suka duka yang mereka alami terutama di bidang pertanian selama setahun yang telah
berlalu dan tahun yang akan datang. Selain ritual-ritual yang bersifat sakral,
digelar juga kesenian dan hiburan. Dengan kata lain kegiatan ini merupakan
hubungan antara anusia dengan Tuhan, dan juga dengan sesama makhluk atau alam
baik lewat kegiatan kesenian, pendidikan, dan sosial budaya.
Seren Taun dilaksanakan setiap tanggal 22 Bulan
Rayagung sebagai bulan terakhir dalam perhitungan kalender Sunda. Upacara Seren
Taun diawali dengan upacara ngajayak
(Menjemput Padi) pada tanggal 18 Rayagung.
Dalam upacara Seren Taun, yang menjadi objek utama
adalah Padi yang dianggap sebagai lambang kemakmuran. Bilangan 22 dimaknai
sebagai rangkaian bilangan 20 dan 2. Padi yang ditumbuk pada puncak acara
sebanyak 22 kwintal dengan pembagian 20 kwintal untuk ditumbuk dan dibagikan
kembali pada masyarakat dan 2 kwintal digunakan sebagai benih. Ngajayak dalam
bahasa sunda berarti menerima dan menyambut, sedangkan bilangan 18 (dalapan
welas) berkonotasi welas asih yang artinya cinta kasih serta kemurahan Tuhan
yang telah menganugerahkan segala kehidupan bagi umat-Nya di segenap penjuru
bumi.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar