Manusia dan Keadilan
Adilla Novita Hendinar / 10516168
Manusia
merupakan mahluk hidup yang mampu berfikir, berjiwa, dan yang mampu memiliki
keturunan. Maka dari itu manusia dapat di katakan sebagai mahluk sosial yang
membutuhkan interaksi sosial dengan manusia lain. Manusia adalah mahluk yang
selalu membutuhkan orang lain untuk dapat bertahan hidup. Manusia memiliki
keinginan biologis yang harus terpenuhi seperti keinginan untuk makan, bertahan
hidup, menjaga diri, memiliki keturunan.
Keadilan memberikan kebenaran,
ketegasan dan suatu jalan tengah dari berbagai persoalan juga tidak memihak
kepada siapapun. Dan bagi yang berbuat adil merupakan orang yang bijaksana.
Keadilan itu juga dapat di artikan sebagai pengakuan dan pelakuan yang seimbang
antara hak-hak dan kewajiban. Keadilan terletak pada keharmonisan menuntut hak
dan menjalankan kewajiban. Atau dengan kata lain, keadilan adalah keadaan bila
setiap orang memperoleh apa yang menjadi hak nya dan setiap orang memperoleh
bagian yang sama dari kekayaan bersama.
Pada dasarnya, manusia adalah
makhluk moral dan makhluk sosial. Dalam bergaul, manusia harus mematuhi
norma-norma untuk mewujudkan moral itu. Bila manusia bermuat amoral,
lingkunganlah yang menyebabkannya. Perbuatan amoral pada hakekatnya adalah
perbuatan yang melanggar hak dan kewajiban manusia lain. Oleh karena itu
manusia tidak menghendaki hak dan kewajibannya dilanggar, maka manusia berusaha
mempertahankan hak dan kewajibannya itu.
FILM
GIE
Sinopsis
Soe Hok
Gie dibesarkan di sebuah keluarga keturunan Tionghoa yang tidak begitu kaya dan
berdomisili di Jakarta. Sejak remaja, Hok Gie sudah mengembangkan minat
terhadap konsep-konsep idealis yang dipaparkan oleh intelek-intelek kelas
dunia. Semangat pejuangnya, setiakawannya, dan hatinya yang dipenuhi kepedulian
sejati akan orang lain dan tanah airnya membaur di dalam diri Hok Gie kecil dan
membentuk dirinya menjadi pribadi yang tidak toleran terhadap ketidakadilan dan
mengimpikan Indonesia yang didasari oleh keadilan dan kebenaran yang murni.
Semangat ini sering salah dimengerti orang lain. Bahkan sahabat-sahabat Hok
Gie, Tan Tjin Han dan Herman Lantang bertanya "Untuk apa semua perlawanan
ini?". Pertanyaan ini dengan kalem dijawab Soe dengan penjelasan akan
kesadarannya bahwa untuk memperoleh kemerdekaan sejati dan hak-hak yang
dijunjung sebagaimana mestinya, ada harga yang harus dibayar, dan
memberontaklah caranya. Semboyan Soe Hok Gie yang mengesankan berbunyi,
"Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan."
Masa remaja dan kuliah Hok Gie dijalani di bawah rezim pelopor
kemerdekaan Indonesia Bung Karno, yang ditandai dengan konflik antara militer
dengan PKI. Soe dan teman-temannya bersikeras bahwa mereka tidak memihak
golongan manapun. Meskipun Hok Gie menghormati Sukarno sebagai founding father
negara Indonesia, Hok Gie begitu membenci pemerintahan Soekarno yang diktator
dan menyebabkan hak rakyat yang miskin terinjak-injak. Hok Gie tahu banyak
tentang ketidakadilan sosial, penyalahgunaan kedaulatan, dan korupsi di bawah
pemerintahan Sukarno, dan dengan tegas bersuara menulis kritikan-kritikan yang
tajam di media. Soe juga sangat membenci bagaimana banyak mahasiswa
berkedudukan senat janji-janji manisnya hanya omong kosong belaka yang mengedoki
usaha mereka memperalat situasi politik untuk memperoleh keuntungan pribadi.
Penentangan ini memenangkan banyak simpati bagi Hok Gie, Tetapi juga
memprovokasikan banyak musuh. Banyak interest group berusaha melobi Soe untuk
mendukung kampanyenya, sementara musuh-musuh Hok Gie bersemangat menggunakan
setiap kesempatan untuk mengintimidasi dirinya.
Tan Tjin
Han, teman kecil Hok Gie, sudah lama mengagumi keuletan dan keberanian Soe Hok
Gie, namun dirinya sendiri tidak memiliki semangat pejuang yang sama. Dalam
usia berkepala dua, kedua lelaki dipertemukan kembali meski hanya sebentar. Hok
Gie menemukan bahwa Tan telah terlibat PKI tetapi tidak tahu konsekuensi apa
yang sebenarnya menantinya. Hok Gie mendesak Tan untuk menanggalkan segala
ikatan dengan PKI dan bersembunyi, tetapi Tan tidak menerima desakan tersebut.
Hok Gie
dan teman-temannya menghabiskan waktu luang mereka naik gunung dan menikmati
alam Indonesia yang asri dengan Mahasiswa Pecinta Alam (MAPALA) UI. Selain itu,
mereka juga gemar menonton dan menganalisa film, menikmati kesenian-kesenian
tradisional, dan menghadiri pesta-pesta.
Judul kasus:
“Diskriminasi
terhadap etnis chinese oleh kaum pribumi dan wujud perjuangan untuk keadilan
HAM pada masa pemerintahan presiden Soekarno”
Analisis Akar Permasalahan
Diskriminasi
rasial terhadap etnis Tionghoa di Indonesia yang terjadi sejak zaman Kolonial
Belanda. Bahkan terjadi pembantaian secara besar-besaran oleh Belanda pada
zaman itu. Diskriminasi terhadap etnis Tionghoa tidak hanya sampai situ, namun
terus berlanjut hingga Orde Lama dan Orde Baru.
Pemerintahan
Presiden Soekarno pada era 1959-1960 adalah masa dimana etnis Tionghoa sungguh
terdiskriminasi dengan wajah yang
rasialis. Pengejaran terhadap orang Tiongoa saat itu merupakan bagian dari
pelaksanaan politik anti-Tionghoa. Diskriminasi dilakukan dengan berbagai cara
dengan peraturan yang di buat untuk menyulitkan orang Tionghoa untuk menyambung
hidup di Indonesia.
Pada
saat itu Soe Hok Gie sebagai remaja keturunan Tionghoa merasa bahwa
ketidakadilan yang di alami orang-orang Tionghoa harus segera di perbaiki
karena sangat merugikan. Kemanakah Indonesia dengan ‘Bhineka Tunggal Ika” nya
itu? Dengan dirinya yang terbiasa untuk berfikir kritis membuat Soe Hok Gie
bersikeras untuk memperjuangkan Hak nya sebagai WNI yaitu mendapat keadilan
yang sama.
Sehingga di masa-masa akhir pemerintahan Presiden
Soekarno, ada begitu banyak penyimpangan politik seperti korupsi, kolusi, dan
nepotisme. Dari mulai pembentukan demokrasi terpimpin yang semakin mengarah
pada otoriterianisme praktik
kolusi dan nepotisme (siapa yang punya koneksi akan diuntungkan), sampai
penyalahgunaan kekuasaan dimana uang dana revolusi yang dikumpulkan dari
keringat rakyat dan karcis-karcis bioskop, dihambur-hamburkan oleh orang-orang
pemerintah pusat di luar negeri.
Posisi Gie pada saat itu jelas menentang Soekarno
sebagai seorang politikus, tapi bukan berarti Gie tidak menghormati Soekarno.
Dalam salah satu catatan hariannya, Gie menulis :
"Saya kira saya menyukai
Soekarno sebagai seorang manusia, tapi sebagai seorang pemimpin, tidak!"- Soe Hok Gie
Memang dalam
memahami kehidupan seseorang kita tidak bisa melihat hanya dari satu sisi
kehidupan saja. Kita tidak bisa melihat sebuah keputusan atau kelemahan manusia
sebagai hal yang seolah-olah bisa menjawab, merangkum, serta mewakili
seluruh kehidupan seseorang. Jadi buat saya pribadi, apa yang disampaikan
Gie pada catatan harian, tulisan-tulisan, maupun skripsinya adalah satu
sisi pandangan dari "kacamata" Gie pada jaman itu, dan tidak mewakili
sosok yang dia kritik secara menyeluruh
Pada
masa-masa itu (pasca G30S/65), seluruh lapisan masyarakat di Indonesia diam
dalam kengerian. Para awak media dan wartawan bungkam karena takut mengungkap
kebenaran. Lalu siapakah orang pertama yang berani berteriak lantang menyatakan
kebenaran? Yak, siapa lagi kalau bukan Soe Hok Gie. Dia adalah orang yang
pertama kali dengan berani membeberkan serangkaian peristiwa pembunuhan di Bali
oleh rezim ORBA yang (pada saat itu) diperkirakan menelankan korban sampai
80.000 jiwa. Keberanian Gie mengungkapkan fakta pada masa itu mungkin
bagi sebagian orang saat itu dinilai naif, sembrono, bahkan mungkin tidak
sayang nyawa. Tapi bagi seorang Soe Hok Gie, itu adalah panggilannya
sebagai seorang intelektual, untuk berani menyatakan kebenaran.
Penyelesaian keadilan
Pada tanggal 7 juni 1967, Soeharto mengeluarkan surat
edaran ‘Kebijakan Pokok Penyelesaian Masalah Cina’ yang isinya menyatakan bahwa
etnis Tionghoa WNA yang beritikad baik akan mendapat jaminan keamanan dan
perlindungan atas kehidupan, kepemilikan, dan usahanya. Surat edaran ini
kemudian di tindak lanjuti dengan Keputusan Presiden pada Desember 1967 yang
isinya menyatakan bahwa Pemerintah tidak membedakan antara Tionghoa WNA dan
Tionghoa WNI. Untuk
menghindari eksklusifisme rasial maka pemerintah memilih untuk mengasimilasikan orang-orang etnis Tionghoa itu dan melakukan
berbagai usaha untuk memutuskan hubungan mereka dengan leluhur mereka. Proses
asimilasi ini terlihat dalam :
1. Aturan penggantian nama
2. Melarang segala bentuk penerbitan
degan bahasa serta aksara Cina
3. Membatasi kegiatan-kegiatan keagamaan
hanya dalam keluarga
4. Tidak mengizinkan pagelaran dalam
perayaan hari raya tradisional Tionghoa di muka umum
5. Melarang sekolah-sekolah Tionghoa
dan menganjurkan anak-anak Tionghoa untuk masuk ke sekolah umum negeri atau
swasta
Namun
sekarang etnis Tionghoa telah di bebaskan dengan adanya amandemen dari UU yang
di buat saat itu. Kini orang Tionghoa bebas berkarya di Indonesia selayaknya
bagaimana pribumi. Hal itu tidak hanya untuk orang Tionghoa saja namun untuk
non-Pribumi yang lain.
Lalu
sekarang di mudahkannya dengan adanya UU tentang kebebasan menyatakan pendapat.
Sehingga segala aspirasi dan ide yang ada dari masyarakat dapat tersampaikan
dengan media atau perantara tertentu. Sehingga tidak ada lagi pemikiran yang
tidak dapat tersampaikan.
source:
source:
https://socio-politica.com/tag/soe-hok-gie/
http://web.budaya-tionghoa.net/index.php/konten/esai/item/1378-studi-kasus-mengenai-diskriminasi-terhadap-etnis-tionghoa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar