Selasa, 15 November 2016

TUGAS 3 | Manusia dan Keadilan

Manusia dan Keadilan
Adilla Novita Hendinar / 10516168
Manusia merupakan mahluk hidup yang mampu berfikir, berjiwa, dan yang mampu memiliki keturunan. Maka dari itu manusia dapat di katakan sebagai mahluk sosial yang membutuhkan interaksi sosial dengan manusia lain. Manusia adalah mahluk yang selalu membutuhkan orang lain untuk dapat bertahan hidup. Manusia memiliki keinginan biologis yang harus terpenuhi seperti keinginan untuk makan, bertahan hidup, menjaga diri, memiliki keturunan.
Keadilan memberikan kebenaran, ketegasan dan suatu jalan tengah dari berbagai persoalan juga tidak memihak kepada siapapun. Dan bagi yang berbuat adil merupakan orang yang bijaksana. Keadilan itu juga dapat di artikan sebagai pengakuan dan pelakuan yang seimbang antara hak-hak dan kewajiban. Keadilan terletak pada keharmonisan menuntut hak dan menjalankan kewajiban. Atau dengan kata lain, keadilan adalah keadaan bila setiap orang memperoleh apa yang menjadi hak nya dan setiap orang memperoleh bagian yang sama dari kekayaan bersama.

Pada dasarnya, manusia adalah makhluk moral dan makhluk sosial. Dalam bergaul, manusia harus mematuhi norma-norma untuk mewujudkan moral itu. Bila manusia bermuat amoral, lingkunganlah yang menyebabkannya. Perbuatan amoral pada hakekatnya adalah perbuatan yang melanggar hak dan kewajiban manusia lain. Oleh karena itu manusia tidak menghendaki hak dan kewajibannya dilanggar, maka manusia berusaha mempertahankan hak dan kewajibannya itu.

FILM GIE

Sinopsis
Soe Hok Gie dibesarkan di sebuah keluarga keturunan Tionghoa yang tidak begitu kaya dan berdomisili di Jakarta. Sejak remaja, Hok Gie sudah mengembangkan minat terhadap konsep-konsep idealis yang dipaparkan oleh intelek-intelek kelas dunia. Semangat pejuangnya, setiakawannya, dan hatinya yang dipenuhi kepedulian sejati akan orang lain dan tanah airnya membaur di dalam diri Hok Gie kecil dan membentuk dirinya menjadi pribadi yang tidak toleran terhadap ketidakadilan dan mengimpikan Indonesia yang didasari oleh keadilan dan kebenaran yang murni. Semangat ini sering salah dimengerti orang lain. Bahkan sahabat-sahabat Hok Gie, Tan Tjin Han dan Herman Lantang bertanya "Untuk apa semua perlawanan ini?". Pertanyaan ini dengan kalem dijawab Soe dengan penjelasan akan kesadarannya bahwa untuk memperoleh kemerdekaan sejati dan hak-hak yang dijunjung sebagaimana mestinya, ada harga yang harus dibayar, dan memberontaklah caranya. Semboyan Soe Hok Gie yang mengesankan berbunyi, "Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan."

Masa remaja dan kuliah Hok Gie dijalani di bawah rezim pelopor kemerdekaan Indonesia Bung Karno, yang ditandai dengan konflik antara militer dengan PKI. Soe dan teman-temannya bersikeras bahwa mereka tidak memihak golongan manapun. Meskipun Hok Gie menghormati Sukarno sebagai founding father negara Indonesia, Hok Gie begitu membenci pemerintahan Soekarno yang diktator dan menyebabkan hak rakyat yang miskin terinjak-injak. Hok Gie tahu banyak tentang ketidakadilan sosial, penyalahgunaan kedaulatan, dan korupsi di bawah pemerintahan Sukarno, dan dengan tegas bersuara menulis kritikan-kritikan yang tajam di media. Soe juga sangat membenci bagaimana banyak mahasiswa berkedudukan senat janji-janji manisnya hanya omong kosong belaka yang mengedoki usaha mereka memperalat situasi politik untuk memperoleh keuntungan pribadi. Penentangan ini memenangkan banyak simpati bagi Hok Gie, Tetapi juga memprovokasikan banyak musuh. Banyak interest group berusaha melobi Soe untuk mendukung kampanyenya, sementara musuh-musuh Hok Gie bersemangat menggunakan setiap kesempatan untuk mengintimidasi dirinya.

Tan Tjin Han, teman kecil Hok Gie, sudah lama mengagumi keuletan dan keberanian Soe Hok Gie, namun dirinya sendiri tidak memiliki semangat pejuang yang sama. Dalam usia berkepala dua, kedua lelaki dipertemukan kembali meski hanya sebentar. Hok Gie menemukan bahwa Tan telah terlibat PKI tetapi tidak tahu konsekuensi apa yang sebenarnya menantinya. Hok Gie mendesak Tan untuk menanggalkan segala ikatan dengan PKI dan bersembunyi, tetapi Tan tidak menerima desakan tersebut.

Hok Gie dan teman-temannya menghabiskan waktu luang mereka naik gunung dan menikmati alam Indonesia yang asri dengan Mahasiswa Pecinta Alam (MAPALA) UI. Selain itu, mereka juga gemar menonton dan menganalisa film, menikmati kesenian-kesenian tradisional, dan menghadiri pesta-pesta.

Judul kasus:
Diskriminasi terhadap etnis chinese oleh kaum pribumi dan wujud perjuangan untuk keadilan HAM pada masa pemerintahan presiden Soekarno

Analisis Akar Permasalahan
Diskriminasi rasial terhadap etnis Tionghoa di Indonesia yang terjadi sejak zaman Kolonial Belanda. Bahkan terjadi pembantaian secara besar-besaran oleh Belanda pada zaman itu. Diskriminasi terhadap etnis Tionghoa tidak hanya sampai situ, namun terus berlanjut hingga Orde Lama dan Orde Baru.
Pemerintahan Presiden Soekarno pada era 1959-1960 adalah masa dimana etnis Tionghoa sungguh terdiskriminasi  dengan wajah yang rasialis. Pengejaran terhadap orang Tiongoa saat itu merupakan bagian dari pelaksanaan politik anti-Tionghoa. Diskriminasi dilakukan dengan berbagai cara dengan peraturan yang di buat untuk menyulitkan orang Tionghoa untuk menyambung hidup di Indonesia.
Pada saat itu Soe Hok Gie sebagai remaja keturunan Tionghoa merasa bahwa ketidakadilan yang di alami orang-orang Tionghoa harus segera di perbaiki karena sangat merugikan. Kemanakah Indonesia dengan ‘Bhineka Tunggal Ika” nya itu? Dengan dirinya yang terbiasa untuk berfikir kritis membuat Soe Hok Gie bersikeras untuk memperjuangkan Hak nya sebagai WNI yaitu mendapat keadilan yang sama.
Sehingga di masa-masa akhir pemerintahan Presiden Soekarno, ada begitu banyak penyimpangan politik seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dari mulai pembentukan demokrasi terpimpin yang semakin mengarah pada otoriterianisme praktik kolusi dan nepotisme (siapa yang punya koneksi akan diuntungkan), sampai penyalahgunaan kekuasaan dimana uang dana revolusi yang dikumpulkan dari keringat rakyat dan karcis-karcis bioskop, dihambur-hamburkan oleh orang-orang pemerintah pusat di luar negeri.
Posisi Gie pada saat itu jelas menentang Soekarno sebagai seorang politikus, tapi bukan berarti Gie tidak menghormati Soekarno. Dalam salah satu catatan hariannya, Gie menulis :
"Saya kira saya menyukai Soekarno sebagai seorang manusia, tapi sebagai seorang pemimpin, tidak!"- Soe Hok Gie
Memang dalam memahami kehidupan seseorang kita tidak bisa melihat hanya dari satu sisi kehidupan saja. Kita tidak bisa melihat sebuah keputusan atau kelemahan manusia sebagai hal yang seolah-olah bisa menjawab, merangkum, serta mewakili seluruh kehidupan seseorang. Jadi buat saya pribadi, apa yang disampaikan Gie pada catatan harian, tulisan-tulisan, maupun skripsinya adalah satu sisi pandangan dari "kacamata" Gie pada jaman itu, dan tidak mewakili sosok yang dia kritik secara menyeluruh
Pada masa-masa itu (pasca G30S/65), seluruh lapisan masyarakat di Indonesia diam dalam kengerian. Para awak media dan wartawan bungkam karena takut mengungkap kebenaran. Lalu siapakah orang pertama yang berani berteriak lantang menyatakan kebenaran? Yak, siapa lagi kalau bukan Soe Hok Gie. Dia adalah orang yang pertama kali dengan berani membeberkan serangkaian peristiwa pembunuhan di Bali oleh rezim ORBA yang (pada saat itu) diperkirakan menelankan korban sampai 80.000 jiwa. Keberanian Gie mengungkapkan fakta pada masa itu mungkin bagi sebagian orang saat itu dinilai naif, sembrono, bahkan mungkin tidak sayang nyawa. Tapi bagi seorang Soe Hok Gie, itu adalah panggilannya sebagai seorang intelektual, untuk berani menyatakan kebenaran.
Penyelesaian keadilan
Pada tanggal 7 juni 1967, Soeharto mengeluarkan surat edaran ‘Kebijakan Pokok Penyelesaian Masalah Cina’ yang isinya menyatakan bahwa etnis Tionghoa WNA yang beritikad baik akan mendapat jaminan keamanan dan perlindungan atas kehidupan, kepemilikan, dan usahanya. Surat edaran ini kemudian di tindak lanjuti dengan Keputusan Presiden pada Desember 1967 yang isinya menyatakan bahwa Pemerintah tidak membedakan antara Tionghoa WNA dan Tionghoa WNI. Untuk menghindari eksklusifisme rasial maka pemerintah memilih untuk mengasimilasikan orang-orang etnis Tionghoa itu dan melakukan berbagai usaha untuk memutuskan hubungan mereka dengan leluhur mereka. Proses asimilasi ini terlihat dalam :
1.      Aturan penggantian nama
2.      Melarang segala bentuk penerbitan degan bahasa serta aksara Cina
3.      Membatasi kegiatan-kegiatan keagamaan hanya dalam keluarga
4.      Tidak mengizinkan pagelaran dalam perayaan hari raya tradisional Tionghoa di muka umum
5.      Melarang sekolah-sekolah Tionghoa dan menganjurkan anak-anak Tionghoa untuk masuk ke sekolah umum negeri atau swasta
Namun sekarang etnis Tionghoa telah di bebaskan dengan adanya amandemen dari UU yang di buat saat itu. Kini orang Tionghoa bebas berkarya di Indonesia selayaknya bagaimana pribumi. Hal itu tidak hanya untuk orang Tionghoa saja namun untuk non-Pribumi yang lain.
Lalu sekarang di mudahkannya dengan adanya UU tentang kebebasan menyatakan pendapat. Sehingga segala aspirasi dan ide yang ada dari masyarakat dapat tersampaikan dengan media atau perantara tertentu. Sehingga tidak ada lagi pemikiran yang tidak dapat tersampaikan.

source: 

https://socio-politica.com/tag/soe-hok-gie/
http://web.budaya-tionghoa.net/index.php/konten/esai/item/1378-studi-kasus-mengenai-diskriminasi-terhadap-etnis-tionghoa



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Matematika dan Ilmu Alamiah Dasar Tugas 9

Nama  : Intan Justitia Dewi Top of Form Bottom of Form Kelas  : I PA 12 NPM  : 18516337 The Great Blue Hole, Jurang Terdalam ...