Nama : Nur Herlista A.M
NPM : 15516546
Kelas : 1 PA 12
1. Perkembangan teknologi terutama masuknya budaya barat diterima secara langsung tanpa disaring mengakibatkan kebudayaan asli mengalami kepunahan.
Beberapa alasan generasi muda lebih mudah menerima kebudayaan barat :
a. Karena beberapa peraturan dari budaya lokal bersifat terikat dan memaksa sehingga kalangan muda ingin merasakan kebebasan.
b. Adanya sikap selalu terbuka terhadap perubahan.
c. Pola pemikiran yang selalu positif terhadal hal baru (terkadang yang menyimpang dianggap positif).
d. Adanya sikap menyukai sesuatu dan mengakui budaya barat keren dan unggul dibandingkan budaya lokal.
e. Adanya pandangan keliru yang menganggap budaya barat identik dengan kemajuan (modern), sedangkan budaya timur kurang dinamis.
f. Generasi muda mengalami kemajuan teknologi yang berdampak positif maupun negatif, serta ingin tampil modis dan trendi.
Contohnya mengecat rambut, berpakaian seksi dan minim, mengakses vidio porno, bahkan zaman sekarang gaya berpacaran kalangan muda mengikuti tren budaya barat yang bebas.
Sedangkan generasi tua pada masa kehidupannya mengalami pengetahuan teknnologi yang lambat dan belum maju, terikat oleh kebiasaan adat yang tertanam kuat, sikap tertutup terhadap perubahan, sikap yang masih tradisional, dan menilai bahwa perubahan modern adalah hal buruk.
2. Sumber : jurnal relevansi nilai-nilai budaya bugis dan pemikiran ulama bugis
a) Islam tersebar dan diterima di Sulawesi Selatan oleh masyarakat baik
pada garis atas (raja) dan garis bawah (rakyat) karena pola-pola pendekatan yang sesuai dengan bibit spiritual dan ritual yang sudah ada sebelum masuknya Islam.
Masyarakat Bugis, sejak dahulu dikenal memiliki sistem kehidupan
dan tata nilai yang mereka pedomani dalam kehidupan berumah tangga dan bermasyarakat. Nilai-nilai utama kebudayaan Bugis itu meliputi kejujuran (lempu), kecendekiaan (amaccang), kepatutan (assitinajang), keteguhan (agettengeng), usaha (reso), prinsip malu (siri’) Nilai-nilai
diwariskan oleh leluhur Bugis melalui Papangngaja (nasihat) dan Paseng (amanat). Keberadaan nilai-nilai tersebut dapat pula ditemukan pada penjelasan ulama Bugis dalam Tafsir Berbahasa Bugis Karya MUI Sulsel. Penggalian terhadap nilai-nilai kearifan lokal dalam penjelasannya baik secara eksplisit maupun secara implisit. Hal ini dapat dimaklumi, karena penulisan tafsir tersebut pada dasarnya bertujuan untuk mendekatkan
dan memberi pemahaman kepada masyarakat Bugis terhadap ajaran Islam.
Sebelum datangnya Islam, masyarakat Bugis memiliki sistem dan tata
nilai yang sangat kental. Tata aturan hidup masyarakat Bugis pra Islam, baik
yang berkaitan dengan kepercayaan maupun pemerintahan dan kemasyarakatan
yang disebut Pangngaderreng (Bugis), Pangngadakkang (Makassar), Pangngadarang
(Luwu), Aluk To Dolo (Toraja), dan Ada’ (Mandar). Sebelum datangnya Islam,
mereka telah meyakini Dewata Seuwae (dewa yang tunggal), Patotoe (dewa yang menentukan nasib), bagi Bugis dan Luwu. Makassar
menyebut Turi A’rana (kehendak yang tinggi), Mandar menyebut Puang Mesa
(yang Maha Menghendaki), Toraja Puang Matua (Tuhan yang Maha Mulia).
Disamping itu, mereka juga mempercayai adanya Dewa di Gunung Latimojong
yang dikenal dengan Dewata Matanrue. Dewa ini kawin dengan E Nyi’li’timo’
kemudian melahirkan Patotoe kawin dengan Palingo’ dan melahirkan Batara
Guru. Batara Guru ini dipercayai oleh sebagian masyarakat sebagai dewa
penjelajah di seluruh kawasan Asia yang bermarkas di puncak Himalaya.
Sekira satu abad sebelum Masehi, datanglah Batara Guru di Cerekang Malili
dengan membawa empat kasta yaitu: kasta Puang, kasta Pampawa Opu, kasta
Attana Lang, dan kasta orang kebanyakan.
Dewata Matanrue membawa enam bahasa resmi untuk dipergunakan
b) penyebarannya melalui Pengumpulan data yang dilakukan dengan mengumpulkan ayat-ayat al-Quran secara tematik yang berkaitan dan pendekatan hukum fikih(datuk ribandang mengunjungi daerah makassar dan bugis yang kuat melakukan judi, zina, minum ballo/khamar, dan riba), pendekatan ilmu kalam (dengan cara Datuk Patimang mengunjungi daerah-daerah Bugis yang kuat melakukan kepercayaan lama yang meyakini atau menganggap bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu adalah Dewata Seuwae, yaitu suatu kepercayaan yang sekarang ini dikenal dengan Mitologi Galigo. Datuk Patimang lebih mengutamakan pengajaran tauhid, yaitu pemahaman tentang sifat-sifat Allah SWT untuk menggantikan kepercayaan lama menjadi keprcayaan tauhid kepada Allah SWT yang tercermin lewat dua kalimat syahadat), dan pendekatan ilmu tasawuf (Ini lebih fokus dilakukan oleh Datuk Ritiro. Ia mengunjungi daerah-daerah Bugis yang kuat berpegang pada ilmu kebatinan dan ilmu sihir, kemudian menggantinya dengan ajaran tasawuf yang benar). Masyarakat sebagai sasaran dakwah (mad‘u) terutama masa awal Islam banyak yang memiliki ilmu kebatinan seperti sihir, kekebalan, dan santet. Sejak awal kedatangan Islam di Sulawesi Selatan, sinergi pemerintah dan ulama dalam membina masyarakat selalu terjalin dengan baik, yang pembinaannya senantiasa bertumpu pada nilai-nilai Islam dan kearifan nilai-nilai budaya lokal.
c) - mengenal budaya sendiri
- mengembangkan dan mengenalkan kebudayaan kepada generasi muda
- memperluas informasi tentang kebudayaan baik dalam negeri maupun manca negara
- menjaga kebiasaan budaya agar tidak punah
- mengikuti kegiatan budaya
- mengenakan produk budaya sendiri
- memposting kesenian budaya di media sosial
- mengekspor barang hasil kesenian
- bergabung dalam komunitas budaya
- Meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam memajukan budaya
- Lebih mendorong kita untuk memaksimalkan potensi budaya lokal beserta pemberdayaan dan pelestariannya
- Berusaha menghidupkan kembali semangat toleransi kekeluargaan, ramah-tamah, dan solidaritas yang tinggi
d) - mempersiapkan diri sebaik mungkin
- jadikan budaya kita sebagai identitas diri kita
- memilah kebudayaan asing yang baik dan benar
- mempertebal keimanan diri
- belajar dengan giat
- menanamkan dan mengamalkan nilai pancasila
- memperluas wawasan tentang globalisasi
- tidak meninggalkan nilai-nilai luhur budaya bangsa
- sikap dan perilaku cinta tanah air
- bangga terhadap budaya sendiri
- melaksanakan nilai uud 19945
- tidak menggunakan produk luar negeri
- pola pikir yang cerdas, logis, dan kritis
Daftar Pustaka
Abdullah, Hamid. 1985. Manusia Bugis-Makassar: Suatu Tinjauan Historis
terhadap Pola Tingkah Laku dan Pandangan Hidup Bugis-Makassar. Jakarta:
Inti Dayu.
al Dzahabi, Muhammad Husain. 1968. Al Syar’iah al Islamiyah: Dirasah
Muqranah baina Ahl al Sunnah wa Mazhab al Ja’fariyah. Mesir: Dar al
Kutub al Haditsah.
Bahri, Andi Syamsul, Anggota Tim Penulis Tafsir Berbahasa Bugis. Wawancara.
tanggal 29 Juli 2008 di Malaysia.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1982. Upacara Tradisional Sulawesi
Selatan. Ujung Pandang: Dirjen Kebudayaan.
Hamid, Abu. 1980. Selayang Pandang Uraian tentang Islam dan Kebudayaan dalam
Buku Bugis Makassar dalam Peta Islamisasi di Indonesia. Ujungpandang:
IAIN Alauddin.
Ibn ‘Abidin. t.th. Hasyiyah Radd al Mukhtar ‘ala al Dur al Mukhtar. Jilid III.
Beirut: Dar al Fikr.
M. Ramli, Asep Syamsul. 2003. Jurnalistik Dakwah: Visi dan Misi Dakwah bi al
Qalam. Bandung: PT Remaja Rosdakrya.
Matthes, Benjamin Frederik. 1874. Boegineesche Chrestomathie. dalam “Bicaranna
Latoa”. Amesterdam: Het Nederlan Bijbelgnootschap.
Mattulada. tahun III. Sulawesi Selatan Pra Islam dalam Bultetin Yaperna. No.
12.
MUI Sulsel. 1988. Tafesere Akorang Mabbasa Ogi. Jilid I-XI. Ujung Pandang:
MUI Sulsel.
Mukhlis (ed). 1986. Dinamika Bugis-Makassar. t.tp: Pusat Latihan Penelitian
Ilmu-Ilmu Sosial dan YIIS.
Mursalim. 2008. Tafsir Bahasa Bugis,Tafsir al Quran al Karim Karya Majelis
Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Selatan; Kajian terhadap Pemikiran-
Pemikirannya [Disertasi]. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah.
Mursalim. 2012. Tafsir al Quran al Karim Karya MUI Sulsel. Al Ulum, Jurnal
Studi-Studi Islam. Volume 12, Nomor 1.
Pelras, Christian. 1982. Manusia Bugis. Terjemahan oleh Abdul Rahman Abud
dkk., 2005. Jakarta: Nalar bekerja sama Forum Jakarta-Paris, EFEO.
Penyusun. 1997. Ensiklopedi Islam 1. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.
Rahim, A. Rahman. 2011. Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis. Yogyakarta:
Penerbit Ombak.
Shihab, M. Quraish. 2005. Perempuan; Dari Cinta Sampai Seks, Dari Nikah
Mut’ah sampai Nikah Sunnah, Dari Bias Lama sampai Bias Baru. Jakarta:
Lentera Hati.
Syadzali, Munawir.1995. Dari Lembah Kemiskinan; Kontekstualisasi Ajaran Islam.
Jakarta: IPHI dan Paramadina.
Tim Penulis Depdikbud. 2004. Masuknya Islam di Sulawesi Selatan dan Sulawesi
Tenggara. Makassar: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama.
Wajdi, Muhammad Faried, Anggota Tim Penulis Tafsir Berbahasa Bugis.
Wawancara. tanggal 27 Juli 2010 di Makassar.
Yusuf, Muhammad. 2010. Perkembangan Tafsir al Quran di Sulawei Selatan
(Studi Kritias Tafesere Akorang Mabbasa Ogi Karya Majelis Ulama
Indonesia Sulawesi Selatan [Disertasi]. Makassar: PPs UIN Alauddin.
Yusuf, Muhammad. 2010. Metodologi Tafsir al Quran Berbahasa Bugis: Analisis
Tafesere Akorang Mabbasa Ogi Karya MUI Sulsel. Sosio Ligia; Jurnal Ilmu
Agama dan Ilmu Sosial. Volume 9, Edisi Khusus: 457- 460.
Yusuf, Muhammad. 2012. Bahasa Bugis dan Penulisan Tafsir di Sulawesi
Selatan. Al Ulum, Jurnal Studi-Studi Islam. Volume 12, Nomor 1: 93.
NPM : 15516546
Kelas : 1 PA 12
1. Perkembangan teknologi terutama masuknya budaya barat diterima secara langsung tanpa disaring mengakibatkan kebudayaan asli mengalami kepunahan.
Beberapa alasan generasi muda lebih mudah menerima kebudayaan barat :
a. Karena beberapa peraturan dari budaya lokal bersifat terikat dan memaksa sehingga kalangan muda ingin merasakan kebebasan.
b. Adanya sikap selalu terbuka terhadap perubahan.
c. Pola pemikiran yang selalu positif terhadal hal baru (terkadang yang menyimpang dianggap positif).
d. Adanya sikap menyukai sesuatu dan mengakui budaya barat keren dan unggul dibandingkan budaya lokal.
e. Adanya pandangan keliru yang menganggap budaya barat identik dengan kemajuan (modern), sedangkan budaya timur kurang dinamis.
f. Generasi muda mengalami kemajuan teknologi yang berdampak positif maupun negatif, serta ingin tampil modis dan trendi.
Contohnya mengecat rambut, berpakaian seksi dan minim, mengakses vidio porno, bahkan zaman sekarang gaya berpacaran kalangan muda mengikuti tren budaya barat yang bebas.
Sedangkan generasi tua pada masa kehidupannya mengalami pengetahuan teknnologi yang lambat dan belum maju, terikat oleh kebiasaan adat yang tertanam kuat, sikap tertutup terhadap perubahan, sikap yang masih tradisional, dan menilai bahwa perubahan modern adalah hal buruk.
2. Sumber : jurnal relevansi nilai-nilai budaya bugis dan pemikiran ulama bugis
a) Islam tersebar dan diterima di Sulawesi Selatan oleh masyarakat baik
pada garis atas (raja) dan garis bawah (rakyat) karena pola-pola pendekatan yang sesuai dengan bibit spiritual dan ritual yang sudah ada sebelum masuknya Islam.
Masyarakat Bugis, sejak dahulu dikenal memiliki sistem kehidupan
dan tata nilai yang mereka pedomani dalam kehidupan berumah tangga dan bermasyarakat. Nilai-nilai utama kebudayaan Bugis itu meliputi kejujuran (lempu), kecendekiaan (amaccang), kepatutan (assitinajang), keteguhan (agettengeng), usaha (reso), prinsip malu (siri’) Nilai-nilai
diwariskan oleh leluhur Bugis melalui Papangngaja (nasihat) dan Paseng (amanat). Keberadaan nilai-nilai tersebut dapat pula ditemukan pada penjelasan ulama Bugis dalam Tafsir Berbahasa Bugis Karya MUI Sulsel. Penggalian terhadap nilai-nilai kearifan lokal dalam penjelasannya baik secara eksplisit maupun secara implisit. Hal ini dapat dimaklumi, karena penulisan tafsir tersebut pada dasarnya bertujuan untuk mendekatkan
dan memberi pemahaman kepada masyarakat Bugis terhadap ajaran Islam.
Sebelum datangnya Islam, masyarakat Bugis memiliki sistem dan tata
nilai yang sangat kental. Tata aturan hidup masyarakat Bugis pra Islam, baik
yang berkaitan dengan kepercayaan maupun pemerintahan dan kemasyarakatan
yang disebut Pangngaderreng (Bugis), Pangngadakkang (Makassar), Pangngadarang
(Luwu), Aluk To Dolo (Toraja), dan Ada’ (Mandar). Sebelum datangnya Islam,
mereka telah meyakini Dewata Seuwae (dewa yang tunggal), Patotoe (dewa yang menentukan nasib), bagi Bugis dan Luwu. Makassar
menyebut Turi A’rana (kehendak yang tinggi), Mandar menyebut Puang Mesa
(yang Maha Menghendaki), Toraja Puang Matua (Tuhan yang Maha Mulia).
Disamping itu, mereka juga mempercayai adanya Dewa di Gunung Latimojong
yang dikenal dengan Dewata Matanrue. Dewa ini kawin dengan E Nyi’li’timo’
kemudian melahirkan Patotoe kawin dengan Palingo’ dan melahirkan Batara
Guru. Batara Guru ini dipercayai oleh sebagian masyarakat sebagai dewa
penjelajah di seluruh kawasan Asia yang bermarkas di puncak Himalaya.
Sekira satu abad sebelum Masehi, datanglah Batara Guru di Cerekang Malili
dengan membawa empat kasta yaitu: kasta Puang, kasta Pampawa Opu, kasta
Attana Lang, dan kasta orang kebanyakan.
Dewata Matanrue membawa enam bahasa resmi untuk dipergunakan
b) penyebarannya melalui Pengumpulan data yang dilakukan dengan mengumpulkan ayat-ayat al-Quran secara tematik yang berkaitan dan pendekatan hukum fikih(datuk ribandang mengunjungi daerah makassar dan bugis yang kuat melakukan judi, zina, minum ballo/khamar, dan riba), pendekatan ilmu kalam (dengan cara Datuk Patimang mengunjungi daerah-daerah Bugis yang kuat melakukan kepercayaan lama yang meyakini atau menganggap bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu adalah Dewata Seuwae, yaitu suatu kepercayaan yang sekarang ini dikenal dengan Mitologi Galigo. Datuk Patimang lebih mengutamakan pengajaran tauhid, yaitu pemahaman tentang sifat-sifat Allah SWT untuk menggantikan kepercayaan lama menjadi keprcayaan tauhid kepada Allah SWT yang tercermin lewat dua kalimat syahadat), dan pendekatan ilmu tasawuf (Ini lebih fokus dilakukan oleh Datuk Ritiro. Ia mengunjungi daerah-daerah Bugis yang kuat berpegang pada ilmu kebatinan dan ilmu sihir, kemudian menggantinya dengan ajaran tasawuf yang benar). Masyarakat sebagai sasaran dakwah (mad‘u) terutama masa awal Islam banyak yang memiliki ilmu kebatinan seperti sihir, kekebalan, dan santet. Sejak awal kedatangan Islam di Sulawesi Selatan, sinergi pemerintah dan ulama dalam membina masyarakat selalu terjalin dengan baik, yang pembinaannya senantiasa bertumpu pada nilai-nilai Islam dan kearifan nilai-nilai budaya lokal.
c) - mengenal budaya sendiri
- mengembangkan dan mengenalkan kebudayaan kepada generasi muda
- memperluas informasi tentang kebudayaan baik dalam negeri maupun manca negara
- menjaga kebiasaan budaya agar tidak punah
- mengikuti kegiatan budaya
- mengenakan produk budaya sendiri
- memposting kesenian budaya di media sosial
- mengekspor barang hasil kesenian
- bergabung dalam komunitas budaya
- Meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam memajukan budaya
- Lebih mendorong kita untuk memaksimalkan potensi budaya lokal beserta pemberdayaan dan pelestariannya
- Berusaha menghidupkan kembali semangat toleransi kekeluargaan, ramah-tamah, dan solidaritas yang tinggi
d) - mempersiapkan diri sebaik mungkin
- jadikan budaya kita sebagai identitas diri kita
- memilah kebudayaan asing yang baik dan benar
- mempertebal keimanan diri
- belajar dengan giat
- menanamkan dan mengamalkan nilai pancasila
- memperluas wawasan tentang globalisasi
- tidak meninggalkan nilai-nilai luhur budaya bangsa
- sikap dan perilaku cinta tanah air
- bangga terhadap budaya sendiri
- melaksanakan nilai uud 19945
- tidak menggunakan produk luar negeri
- pola pikir yang cerdas, logis, dan kritis
Daftar Pustaka
Abdullah, Hamid. 1985. Manusia Bugis-Makassar: Suatu Tinjauan Historis
terhadap Pola Tingkah Laku dan Pandangan Hidup Bugis-Makassar. Jakarta:
Inti Dayu.
al Dzahabi, Muhammad Husain. 1968. Al Syar’iah al Islamiyah: Dirasah
Muqranah baina Ahl al Sunnah wa Mazhab al Ja’fariyah. Mesir: Dar al
Kutub al Haditsah.
Bahri, Andi Syamsul, Anggota Tim Penulis Tafsir Berbahasa Bugis. Wawancara.
tanggal 29 Juli 2008 di Malaysia.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1982. Upacara Tradisional Sulawesi
Selatan. Ujung Pandang: Dirjen Kebudayaan.
Hamid, Abu. 1980. Selayang Pandang Uraian tentang Islam dan Kebudayaan dalam
Buku Bugis Makassar dalam Peta Islamisasi di Indonesia. Ujungpandang:
IAIN Alauddin.
Ibn ‘Abidin. t.th. Hasyiyah Radd al Mukhtar ‘ala al Dur al Mukhtar. Jilid III.
Beirut: Dar al Fikr.
M. Ramli, Asep Syamsul. 2003. Jurnalistik Dakwah: Visi dan Misi Dakwah bi al
Qalam. Bandung: PT Remaja Rosdakrya.
Matthes, Benjamin Frederik. 1874. Boegineesche Chrestomathie. dalam “Bicaranna
Latoa”. Amesterdam: Het Nederlan Bijbelgnootschap.
Mattulada. tahun III. Sulawesi Selatan Pra Islam dalam Bultetin Yaperna. No.
12.
MUI Sulsel. 1988. Tafesere Akorang Mabbasa Ogi. Jilid I-XI. Ujung Pandang:
MUI Sulsel.
Mukhlis (ed). 1986. Dinamika Bugis-Makassar. t.tp: Pusat Latihan Penelitian
Ilmu-Ilmu Sosial dan YIIS.
Mursalim. 2008. Tafsir Bahasa Bugis,Tafsir al Quran al Karim Karya Majelis
Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Selatan; Kajian terhadap Pemikiran-
Pemikirannya [Disertasi]. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah.
Mursalim. 2012. Tafsir al Quran al Karim Karya MUI Sulsel. Al Ulum, Jurnal
Studi-Studi Islam. Volume 12, Nomor 1.
Pelras, Christian. 1982. Manusia Bugis. Terjemahan oleh Abdul Rahman Abud
dkk., 2005. Jakarta: Nalar bekerja sama Forum Jakarta-Paris, EFEO.
Penyusun. 1997. Ensiklopedi Islam 1. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.
Rahim, A. Rahman. 2011. Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis. Yogyakarta:
Penerbit Ombak.
Shihab, M. Quraish. 2005. Perempuan; Dari Cinta Sampai Seks, Dari Nikah
Mut’ah sampai Nikah Sunnah, Dari Bias Lama sampai Bias Baru. Jakarta:
Lentera Hati.
Syadzali, Munawir.1995. Dari Lembah Kemiskinan; Kontekstualisasi Ajaran Islam.
Jakarta: IPHI dan Paramadina.
Tim Penulis Depdikbud. 2004. Masuknya Islam di Sulawesi Selatan dan Sulawesi
Tenggara. Makassar: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama.
Wajdi, Muhammad Faried, Anggota Tim Penulis Tafsir Berbahasa Bugis.
Wawancara. tanggal 27 Juli 2010 di Makassar.
Yusuf, Muhammad. 2010. Perkembangan Tafsir al Quran di Sulawei Selatan
(Studi Kritias Tafesere Akorang Mabbasa Ogi Karya Majelis Ulama
Indonesia Sulawesi Selatan [Disertasi]. Makassar: PPs UIN Alauddin.
Yusuf, Muhammad. 2010. Metodologi Tafsir al Quran Berbahasa Bugis: Analisis
Tafesere Akorang Mabbasa Ogi Karya MUI Sulsel. Sosio Ligia; Jurnal Ilmu
Agama dan Ilmu Sosial. Volume 9, Edisi Khusus: 457- 460.
Yusuf, Muhammad. 2012. Bahasa Bugis dan Penulisan Tafsir di Sulawesi
Selatan. Al Ulum, Jurnal Studi-Studi Islam. Volume 12, Nomor 1: 93.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar