Syifa Afifah
1PA12
Ilmu Budaya Dasar
Alasan Generasi Muda
Lebih Mudah Menerima Budaya Luar Dibandingkan Generasi Tua
Kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat
pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran
manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak.
Kebudayaan barat mendominasi segala aspek kehidupan.. Banyak perubahan dunia ini yang dipengaruhi oleh budaya barat.
Masuknya kebudayaan tersebut tanpa disaring oleh masyarakat dan diterima secara
mentah. Akibatnya kebudayaan asli masyarakat mengalami perubahan yang sangat
luar biasa. Budaya Indonesia perlahan-lahan semakin luntur. Mulai dari
pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi social realigi dan lain-lain.
Walaupun dalam segi positifnya ditujukan untuk membantu manusia dalam
kelangsungan hidup bermasyarakat.
Perihal generasi tua dan muda dalam menyikapi budaya barat
yang masuk ke wilayah timur sangatlah berbeda. Generasi muda lebih mudah
menerima adanya budaya asing yang masuk ke Indonesia. Dengan masuknya
kebudayaan asing (barat) ke wilayah indonesia tanpa disadari telah
menghancurkan kebudayaan lokal. Minimnya pengetahuan menjadi pemicu alkulturasi
kebudayaan yang melahirkan jenis kebudayaan baru. Dapat dilihat sekarang, tak sedikit anak muda yang mengikuti istilah
tren ‘kekinian’. Yang mana menurut mereka tren ’kekinian ‘ adalah suatu budaya
baru yang wajib diikuti. Adanya
penyerapan unsur budaya luar yang di lakukan secara cepat oleh generasi muda
dan tidak melalui suatu proses internalisasi yang mendalam dapat menyebabkan
terjadinya ketimpangan antara wujud yang di tampilkan dan nilai-nilai yang
menjadi landasannya atau yang biasa disebut ketimpangan budaya. Generasi muda
masih dalam tahap pencarian jati diri, belum bisa menyaring apa-apa saja yang
harus ia jadikan suatu kebiasaan atau tidak. Secara garis besarnya generasi
muda mengalami culture shock.
Lain halnya dengan generasi tua yang lebih bertanggungjawab
dan bijak dalam menyerap suatu budaya baru . sehingga generasi muda lebih
sering menyebutnya dengan generasi kolot yang susah menerima budaya baru. Tak
seharusnya mereka disebut ‘kolot’. Mereka hanya bersikap realistis dan
mempertahankan kebudayaan timur sopan santun Indonesia. Tak sepenuhnya sikap
realistis generasi tua tercetus sendirinya dikepala mereka. Contohnya sikap
masa orde baru yang melarangnya media asing untuk masuk ke lingkup Indonesia. Hal
itu juga salah satu factor yang
mempengaruhi pola pikir generasi tua.
1.
Hasil
Analisis Penyebab Suku Badui Menerima Budaya Baru
Budaya masyarakat Sulawesi Selatan sudah sejak lama
tercatat didalam literature kuno orang Bugis (juga Makassar) yang disebut
dengan “Lontarak”, yang didalamnya terdapat ajaran-ajaran tentang asal muasal
kejadian manusia, terjadinya kerajaan, aturan-aturan kehidupan manusia, dan
lain-lain.
Sejak zaman pra Islam sampai sekarang hal hal
tersebut dapat diungkapkan melalui sumber-sumber tertulis sejak abad XIV M.
hingga diterimanya Islam sebagai agama yang dianut oleh masyarakat pada awal
abad XVII M. Dalam kurun waktu tersebut, sumber yang melukiskan keadaan
masyarakat Bugis tersebut hanyalah “Lontarak” (Mattulada, tahun III: 76).
Sebelum datangnya islam suku Bugis memiliki sistem
dan tata nilai yang sangat kental. Sebutan Bantara Guru yang familiar di Suku
Bugis pada Praislam dipercayai sebagai dewa penjelajah di seluruh kawasan Asia
yang bermarkas di puncak Himalaya. Sekitar satu abad sebelum Masehi, datanglah
Bantara Guru di Cerekang Malili dengan membawa empat kasta yaitu: kasta puang,
kasta Pampawa Opu, kasta Attana Lang, dan kasta orang kebanyakan (Tim Penulis,
2004: 20).
Namun semua itu kini ttelah tergantikan dengan
masuknya budaya islam ke suku Bugis. Kepiawaian dan keuletan bekerja ulama
Bugis telah menghasilkan karya yang nyata berupa tafsir Al-Quran secara
kolaboratif yang tetap mempertahankan khazanah local, bukan hanya dari segi
bahasa Bugis Lontarak yang digunakannya, malainkan juga pamakaian penjelasannya
yang sarat dengan nilai kearifan local. Pemikirannya memuat penjelasan yang
memiliki hubungan yang sejalan dengan budaya orang Bugis. Hal ini lebih
memungkinkan untuk diterima dan diaplikasikan secara efektif, sebab dapat
memberikan solusi bagi masyarakat Bugis khususnya dalam menghadapi berbagai
kemelut pemikiran globalisasi dan tantangan IPTEK modern.
Di tengah pergulatan intelektual dalam perspektif
global, ternyata belum mampu memberikan solusi terhadap berbagai tantangan.
Jati diri sebuah suku bangsa kini terusik, bahkan dipaksa mencari dan mengikuti
berbagai tawaran budaya yang lain. Akibatnya, terjadi disharmoni dan kekacauan
yang gawat. Padahal, nilai kearifan dan budaya lokal sesungguhnya merupakan solusi
yang paling dekat dengan kehidupan masyarakat. Oleh kerena itu, integrasi
antara khazanah kearifan lokal yang relevan dengan ajaran Islam yaitu al Quran
yang dikemas oleh ulamanya sendiri tentu lebih efektif.
2.
Bentuk
Penyebaran Budaya Baru Terhadap Suku Bugis
Diantara kepercayaan masyarakat Bugis sebelum
datangnya Islam yaitu kepercayaan Aluk To Dolo oleh orang Toraja, adalah
kepercayaan adanya sesuatu pengatur semesta alam, Maha Pencipta yang kemudian
disebut Puang Matua (Tim Penulis, 2004: 20). Ditemukan pula pada beberapa
daerah di Sulawesi Selatan seperti di Tana Toa Kajang Bulukumba, di Onto yang
terdapat di lereng gunung Bantaeng dan desa-desa pegunungan terpencil di Camba
dan Barru.Kepercayaan mereka itu dikenal oleh masyarakat luar dengan
kepercayaan agama “Patuntung”. Agama Patuntung mempercayai adanya sesuatu yang
Maha Kuasa, Maha Tunggal dengan berbagai istilah atau nama, misalnya Turia”
a’ra’na (yang berkehendak).
Kepercayaan serupa di Sidenreng Rappang, yaitu suatu
kepercayaan yang disebut “Towani Tolotang”, yaitu suatu kepercayaan yang
meyakini adanya kekuasaan alam yang tinggi yang mereka namakan “To Palanroe”
(yang mencipta), Dewata Seuwae (Tuhan yang tunggal). Dalam urutan nama-nama
yang mengandung kedewaan terdapat nama Batara Guru, Sawerigading, dan Galigo.
Adapun yang menjadi “kitab suci” mereka yaitu “Mitologi Galigo” dan mereka
mempercayai kebenaran yang terdapat dalam kitab suci sebagai kepercayaan yang
tinggi (Tim Penulis, 2004: 23-24). Dari
situlah mereka berpedoman tentang tata cara hidup kemasyarakatan seperti
perkawinan antara mereka, upacara dalam hidup keagamaan yang mereka lakukan
dengan sangat ketat. Pada zaman dahulu, orang Bugis tidak menguburkan mayat
mereka, melainkan dibakar dan dimasukkan ke dalam guci. Pembakaran mayat
tersebut ada kaitannya dengan kepercayaan agama To-Lotang atau To-Ani yang
diduga asalnya dari ‘Ware’ Luwu” sebagai tempat asalnya Mitologi Galigo.
Islam tersebar dan diterima di Sulawesi Selatan oleh
masyarakat baik pada garis atas (raja) dan garis bawah (rakyat) karena
pola-pola pendekatan yang sesuai dengan spiritual dan ritual yang sudah ada
sebelum masuknya Islam. Terdapat tiga pendekatan yang ditempuh, yaitu:
pertama,
pendekatan hukum (fikih), dalam hal ini Datuk Ribandang mengunjungi daerah
Makassar dan Bugis yang kuat melakukan judi, minum ballo (khamar), zina, dan
riba.
Kedua,
pendekatan ilmu kalam, dengan cara Datuk Patimang mengunjungi daerah-daerah
Bugis yang kuat melakukan kepercayaan lama yang meyakini atau menganggap bahwa
Tuhan Yang Maha Esa itu adalah Dewata Seuwae, yaitu suatu kepercayaan yang
sekarang ini dikenal dengan Mitologi Galigo. Datuk
Patimang lebih mengutamakan pengajaran tauhid, yaitu pemahaman tentang
sifat-sifat Allah SWT untuk menggantikan kepercayaan lama menjadi keprcayaan
tauhid kepada Allah SWT yang tercermin lewat dua kalimat persaksian (syahadat).
Ketiga,
pendekatan ilmu tasawuf. Ini lebih fokus dilakukan oleh Datuk Ritiro. Ia
mengunjungi daerah-daerah Bugis yang kuat berpegang pada ilmu kebatinan dan
ilmu sihir, kemudian menggantinya dengan ajaran tasawuf yang benar (Tim
Penulis, 2004: 67).
Pada saat awal kedatangan Islam ke Sulawesi Selatan
hingga saat ini, kerjasama pemerintah dan ulama dalam membina masyarakat selalu
terjalin dengan baik, yang pembinaannya senantiasa bertumpu pada nilai-nilai
Islam dan kearifan nilai-nilai budaya local. Itulah faktor yang menjadikan Suku
Bugis memberikan pelukan hangat terhadap budaya baru yang datang pada meraka
dalam bentuk budaya agama baru yang lebih sempurna yaitu agama islam.
3.
Cara
Mempertahankan Budaya Daerah sendiri
Nilai budaya yang dimiliki oleh setiap masyarakat
memiliki kekayaan yang begitu besar nilainya, akan tetapi seiringnya
perkembangan zaman upaya pelestariannya juga mulai luntur. Kelunturannya suatu
budaya daerah tersebut disebabkan oleh dua faktor. Faktor internal dan faktor
eksternal, baik faktor intenal maupun eksternal memiliki peran yang memiliki
pengaruh besar. Maka dari itu sebagai generasi muda wajib baginya untuk
melestarikan budaya.
Pelestarian adalah suatu proses atau tehnik yang
didasarkan pada kebutuhan individu itu sendiri. Kelestarian tidak dapat berdiri
sendiri. Oleh karena itu harus dikembangkan pula.sebagai warga Negara yang
baik, kita wajib melestarikan budaya-budaya Negara kita agar tidak luntur atau
hilang. Contohnya seperti tarian, makanan khas, baju daerah, bahasa, dan
sebagainya.
Upaya melesetarikannya dapat berupa mempelajari
budaya jaman dahulu didaerah kita sendiri lalu mendalami budaya tersebut. Dan
wajib bagi kita untuk memperkenalkan kepada orang lain atau kepada orang yang
belum mengetahui budaya tersebut. Ikut berpartisipasi dalam acara-acara
festifal keragaman budaya Indonesia juga merupakan upaya yang sederhana untuk
melestarikanya.
Melindunginya
bagai permata penting didunia ini seperti memakai dan mempelajari bahasa daerah
sendiri, medirikan cagar budaya disetiap kota di Indonesia, atau yang lebih
ekstrem mewajibkan setiap pejabat negeri mampu memperaktekan tarian bangsa
dengan banyaknya jam terbang para pejabat bertemu dengan para orang asing
mempermudah budaya Indonesia dikenali dan tetap lestari di tempat asalnya
dengan seharusnya.
4.
Cara
Agar Tidak Mudah Terpengaruh Budaya Baru
Pada dasarnya suatu kebudayaan tidak pernah bisa
terlepas dari kata “budaya baru” .hakekatnya budaya terus mengalami modifikasi,
masyarakat berbudaya dituntut untuk beradaptasi pada perkembangan zaman ini.
Secara timbal balik, setiap peradaban akan mempengaruhi peradaban lain.
Masuknya kebudayaan tersebut tanpa
disaring oleh masyarakat dan diterima secara mentah. Berakibat pada kebudayaan
asli masyarakat mengalami perubahan yang sangat segnifikan. Budaya asing yang
masuk keindonesia menyebabkan multi efek.
Dizaman sekarang ini manusia hidup
dalam tingkat Hidonisme yang sangat tinggi berpikir dalam jangka pendek hanya
mencari kepuasaan belaka dimana kepuasaan tersebut yang menyesatkan umat islam
untuk berprilaku. Salah satu contoh
Serdehana sesuai dengan kenyataan, Dari cara berpakaian banyak remaja- remaja
kita yang berdandan seperti selebritis yang cenderung ke budaya Barat.
Singkat kata orang lebih suka jika
menjadi orang lain dengan cara menutupi identitasnya. Tidak banyak remaja yang
mau melestarikan budaya bangsa dengan mengenakan pakaian yang sopan sesuai
dengan kepribadian bangsa. Jika pengaruh di atas dibiarkan, apa jadinya Moral
generasi bangsa kita, timbul tindakan anarkis antara golongan muda.
Secara garis besarnya, kita generasi mudah harus
lebih bijak dan bertanggungjawab terhadap apa-apa yang harus kita adaptasi pada
budaya baru untuk bisa lebih mengarbsorbsi budaya yang dilestarikan dan
diterima.
Masuknya budaya asing ke suatu
negara sebenarnya merupakan hal yang wajar, dengan syarat budaya tersebut
sesuai dengan kepribadian bangsa namun kita harus tetap menjaga agar budaya
kita tidak luntur. Langkah-langkah untuk mengantisipasinya bisa dengan cara,
Menumbuhkan semangat nasionalisme yang tangguh, misal semangat mencintai produk
dalam negeri, Menanamkan dan mengamalkan nilai- nilai Pancasila dengan sebaik-
baiknya, Melaksanakan ajaran Agama dengan sebaik- baiknya dan Selektif terhadap
pengaruh globalisasi di bidang politik, ideologi, ekonomi, sosial budaya
bangsa.
Daftar pustaka:
http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/9689
Tidak ada komentar:
Posting Komentar