Sabtu, 22 Oktober 2016

Ilmu Budaya Dasar Syifa Afifah


Syifa Afifah
1PA12

Ilmu Budaya Dasar


Alasan Generasi Muda Lebih Mudah Menerima Budaya Luar Dibandingkan Generasi Tua
Kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Kebudayaan barat mendominasi segala aspek kehidupan.. Banyak perubahan  dunia ini yang dipengaruhi oleh budaya barat. Masuknya kebudayaan tersebut tanpa disaring oleh masyarakat dan diterima secara mentah. Akibatnya kebudayaan asli masyarakat mengalami perubahan yang sangat luar biasa. Budaya Indonesia perlahan-lahan semakin luntur. Mulai dari pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi social realigi dan lain-lain. Walaupun dalam segi positifnya ditujukan untuk membantu manusia dalam kelangsungan hidup bermasyarakat.
Perihal generasi tua dan muda dalam menyikapi budaya barat yang masuk ke wilayah timur sangatlah berbeda. Generasi muda lebih mudah menerima adanya budaya asing yang masuk ke Indonesia. Dengan masuknya kebudayaan asing (barat) ke wilayah indonesia tanpa disadari telah menghancurkan kebudayaan lokal. Minimnya pengetahuan menjadi pemicu alkulturasi kebudayaan yang melahirkan jenis kebudayaan baru. Dapat dilihat sekarang,  tak sedikit anak muda yang mengikuti istilah tren ‘kekinian’. Yang mana menurut mereka tren ’kekinian ‘ adalah suatu budaya baru  yang wajib diikuti. Adanya penyerapan unsur budaya luar yang di lakukan secara cepat oleh generasi muda dan tidak melalui suatu proses internalisasi yang mendalam dapat menyebabkan terjadinya ketimpangan antara wujud yang di tampilkan dan nilai-nilai yang menjadi landasannya atau yang biasa disebut ketimpangan budaya. Generasi muda masih dalam tahap pencarian jati diri, belum bisa menyaring apa-apa saja yang harus ia jadikan suatu kebiasaan atau tidak. Secara garis besarnya generasi muda mengalami culture shock.
Lain halnya dengan generasi tua yang lebih bertanggungjawab dan bijak dalam menyerap suatu budaya baru . sehingga generasi muda lebih sering menyebutnya dengan generasi kolot yang susah menerima budaya baru. Tak seharusnya mereka disebut ‘kolot’. Mereka hanya bersikap realistis dan mempertahankan kebudayaan timur sopan santun Indonesia. Tak sepenuhnya sikap realistis generasi tua tercetus sendirinya dikepala mereka. Contohnya sikap masa orde baru yang melarangnya media asing untuk masuk ke lingkup Indonesia. Hal itu juga salah satu  factor yang mempengaruhi pola pikir generasi tua. 



1.     Hasil Analisis Penyebab Suku Badui Menerima Budaya Baru
Budaya masyarakat Sulawesi Selatan sudah sejak lama tercatat didalam literature kuno orang Bugis (juga Makassar) yang disebut dengan “Lontarak”, yang didalamnya terdapat ajaran-ajaran tentang asal muasal kejadian manusia, terjadinya kerajaan, aturan-aturan kehidupan manusia, dan lain-lain.
Sejak zaman pra Islam sampai sekarang hal hal tersebut dapat diungkapkan melalui sumber-sumber tertulis sejak abad XIV M. hingga diterimanya Islam sebagai agama yang dianut oleh masyarakat pada awal abad XVII M. Dalam kurun waktu tersebut, sumber yang melukiskan keadaan masyarakat Bugis tersebut hanyalah “Lontarak” (Mattulada, tahun III: 76).
Sebelum datangnya islam suku Bugis memiliki sistem dan tata nilai yang sangat kental. Sebutan Bantara Guru yang familiar di Suku Bugis pada Praislam dipercayai sebagai dewa penjelajah di seluruh kawasan Asia yang bermarkas di puncak Himalaya. Sekitar satu abad sebelum Masehi, datanglah Bantara Guru di Cerekang Malili dengan membawa empat kasta yaitu: kasta puang, kasta Pampawa Opu, kasta Attana Lang, dan kasta orang kebanyakan (Tim Penulis, 2004: 20).
Namun semua itu kini ttelah tergantikan dengan masuknya budaya islam ke suku Bugis. Kepiawaian dan keuletan bekerja ulama Bugis telah menghasilkan karya yang nyata berupa tafsir Al-Quran secara kolaboratif yang tetap mempertahankan khazanah local, bukan hanya dari segi bahasa Bugis Lontarak yang digunakannya, malainkan juga pamakaian penjelasannya yang sarat dengan nilai kearifan local. Pemikirannya memuat penjelasan yang memiliki hubungan yang sejalan dengan budaya orang Bugis. Hal ini lebih memungkinkan untuk diterima dan diaplikasikan secara efektif, sebab dapat memberikan solusi bagi masyarakat Bugis khususnya dalam menghadapi berbagai kemelut pemikiran globalisasi dan tantangan IPTEK modern.
Di tengah pergulatan intelektual dalam perspektif global, ternyata belum mampu memberikan solusi terhadap berbagai tantangan. Jati diri sebuah suku bangsa kini terusik, bahkan dipaksa mencari dan mengikuti berbagai tawaran budaya yang lain. Akibatnya, terjadi disharmoni dan kekacauan yang gawat. Padahal, nilai kearifan dan budaya lokal sesungguhnya merupakan solusi yang paling dekat dengan kehidupan masyarakat. Oleh kerena itu, integrasi antara khazanah kearifan lokal yang relevan dengan ajaran Islam yaitu al Quran yang dikemas oleh ulamanya sendiri tentu lebih efektif.
2.     Bentuk Penyebaran Budaya Baru Terhadap Suku Bugis
Diantara kepercayaan masyarakat Bugis sebelum datangnya Islam yaitu kepercayaan Aluk To Dolo oleh orang Toraja, adalah kepercayaan adanya sesuatu pengatur semesta alam, Maha Pencipta yang kemudian disebut Puang Matua (Tim Penulis, 2004: 20). Ditemukan pula pada beberapa daerah di Sulawesi Selatan seperti di Tana Toa Kajang Bulukumba, di Onto yang terdapat di lereng gunung Bantaeng dan desa-desa pegunungan terpencil di Camba dan Barru.Kepercayaan mereka itu dikenal oleh masyarakat luar dengan kepercayaan agama “Patuntung”. Agama Patuntung mempercayai adanya sesuatu yang Maha Kuasa, Maha Tunggal dengan berbagai istilah atau nama, misalnya Turia” a’ra’na (yang berkehendak).
Kepercayaan serupa di Sidenreng Rappang, yaitu suatu kepercayaan yang disebut “Towani Tolotang”, yaitu suatu kepercayaan yang meyakini adanya kekuasaan alam yang tinggi yang mereka namakan “To Palanroe” (yang mencipta), Dewata Seuwae (Tuhan yang tunggal). Dalam urutan nama-nama yang mengandung kedewaan terdapat nama Batara Guru, Sawerigading, dan Galigo. Adapun yang menjadi “kitab suci” mereka yaitu “Mitologi Galigo” dan mereka mempercayai kebenaran yang terdapat dalam kitab suci sebagai kepercayaan yang tinggi (Tim Penulis, 2004: 23-24).  Dari situlah mereka berpedoman tentang tata cara hidup kemasyarakatan seperti perkawinan antara mereka, upacara dalam hidup keagamaan yang mereka lakukan dengan sangat ketat. Pada zaman dahulu, orang Bugis tidak menguburkan mayat mereka, melainkan dibakar dan dimasukkan ke dalam guci. Pembakaran mayat tersebut ada kaitannya dengan kepercayaan agama To-Lotang atau To-Ani yang diduga asalnya dari ‘Ware’ Luwu” sebagai tempat asalnya Mitologi Galigo.
Islam tersebar dan diterima di Sulawesi Selatan oleh masyarakat baik pada garis atas (raja) dan garis bawah (rakyat) karena pola-pola pendekatan yang sesuai dengan spiritual dan ritual yang sudah ada sebelum masuknya Islam. Terdapat tiga pendekatan yang ditempuh, yaitu:
pertama, pendekatan hukum (fikih), dalam hal ini Datuk Ribandang mengunjungi daerah Makassar dan Bugis yang kuat melakukan judi, minum ballo (khamar), zina, dan riba.
Kedua, pendekatan ilmu kalam, dengan cara Datuk Patimang mengunjungi daerah-daerah Bugis yang kuat melakukan kepercayaan lama yang meyakini atau menganggap bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu adalah Dewata Seuwae, yaitu suatu kepercayaan yang sekarang ini dikenal dengan Mitologi Galigo. Datuk Patimang lebih mengutamakan pengajaran tauhid, yaitu pemahaman tentang sifat-sifat Allah SWT untuk menggantikan kepercayaan lama menjadi keprcayaan tauhid kepada Allah SWT yang tercermin lewat dua kalimat persaksian (syahadat).
 Ketiga, pendekatan ilmu tasawuf. Ini lebih fokus dilakukan oleh Datuk Ritiro. Ia mengunjungi daerah-daerah Bugis yang kuat berpegang pada ilmu kebatinan dan ilmu sihir, kemudian menggantinya dengan ajaran tasawuf yang benar (Tim Penulis, 2004: 67).
Pada saat awal kedatangan Islam ke Sulawesi Selatan hingga saat ini, kerjasama pemerintah dan ulama dalam membina masyarakat selalu terjalin dengan baik, yang pembinaannya senantiasa bertumpu pada nilai-nilai Islam dan kearifan nilai-nilai budaya local. Itulah faktor yang menjadikan Suku Bugis memberikan pelukan hangat terhadap budaya baru yang datang pada meraka dalam bentuk budaya agama baru yang lebih sempurna yaitu agama islam.
3.     Cara Mempertahankan Budaya Daerah sendiri
Nilai budaya yang dimiliki oleh setiap masyarakat memiliki kekayaan yang begitu besar nilainya, akan tetapi seiringnya perkembangan zaman upaya pelestariannya juga mulai luntur. Kelunturannya suatu budaya daerah tersebut disebabkan oleh dua faktor. Faktor internal dan faktor eksternal, baik faktor intenal maupun eksternal memiliki peran yang memiliki pengaruh besar. Maka dari itu sebagai generasi muda wajib baginya untuk melestarikan budaya.
Pelestarian adalah suatu proses atau tehnik yang didasarkan pada kebutuhan individu itu sendiri. Kelestarian tidak dapat berdiri sendiri. Oleh karena itu harus dikembangkan pula.sebagai warga Negara yang baik, kita wajib melestarikan budaya-budaya Negara kita agar tidak luntur atau hilang. Contohnya seperti tarian, makanan khas, baju daerah, bahasa, dan sebagainya.
Upaya melesetarikannya dapat berupa mempelajari budaya jaman dahulu didaerah kita sendiri lalu mendalami budaya tersebut. Dan wajib bagi kita untuk memperkenalkan kepada orang lain atau kepada orang yang belum mengetahui budaya tersebut. Ikut berpartisipasi dalam acara-acara festifal keragaman budaya Indonesia juga merupakan upaya yang sederhana untuk melestarikanya.
Melindunginya bagai permata penting didunia ini seperti memakai dan mempelajari bahasa daerah sendiri, medirikan cagar budaya disetiap kota di Indonesia, atau yang lebih ekstrem mewajibkan setiap pejabat negeri mampu memperaktekan tarian bangsa dengan banyaknya jam terbang para pejabat bertemu dengan para orang asing mempermudah budaya Indonesia dikenali dan tetap lestari di tempat asalnya dengan seharusnya.
4.     Cara Agar Tidak Mudah Terpengaruh Budaya Baru
Pada dasarnya suatu kebudayaan tidak pernah bisa terlepas dari kata “budaya baru” .hakekatnya budaya terus mengalami modifikasi, masyarakat berbudaya dituntut untuk beradaptasi pada perkembangan zaman ini. Secara timbal balik, setiap peradaban akan mempengaruhi peradaban lain.
Masuknya kebudayaan tersebut tanpa disaring oleh masyarakat dan diterima secara mentah. Berakibat pada kebudayaan asli masyarakat mengalami perubahan yang sangat segnifikan. Budaya asing yang masuk keindonesia menyebabkan multi efek.
Dizaman sekarang ini manusia hidup dalam tingkat Hidonisme yang sangat tinggi berpikir dalam jangka pendek hanya mencari kepuasaan belaka dimana kepuasaan tersebut yang menyesatkan umat islam untuk berprilaku. Salah satu contoh Serdehana sesuai dengan kenyataan, Dari cara berpakaian banyak remaja- remaja kita yang berdandan seperti selebritis yang cenderung ke budaya Barat.
Singkat kata orang lebih suka jika menjadi orang lain dengan cara menutupi identitasnya. Tidak banyak remaja yang mau melestarikan budaya bangsa dengan mengenakan pakaian yang sopan sesuai dengan kepribadian bangsa. Jika pengaruh di atas dibiarkan, apa jadinya Moral generasi bangsa kita, timbul tindakan anarkis antara golongan muda.
Secara garis besarnya, kita generasi mudah harus lebih bijak dan bertanggungjawab terhadap apa-apa yang harus kita adaptasi pada budaya baru untuk bisa lebih mengarbsorbsi budaya yang dilestarikan dan diterima.
Masuknya budaya asing ke suatu negara sebenarnya merupakan hal yang wajar, dengan syarat budaya tersebut sesuai dengan kepribadian bangsa namun kita harus tetap menjaga agar budaya kita tidak luntur. Langkah-langkah untuk mengantisipasinya bisa dengan cara, Menumbuhkan semangat nasionalisme yang tangguh, misal semangat mencintai produk dalam negeri, Menanamkan dan mengamalkan nilai- nilai Pancasila dengan sebaik- baiknya, Melaksanakan ajaran Agama dengan sebaik- baiknya dan Selektif terhadap pengaruh globalisasi di bidang politik, ideologi, ekonomi, sosial budaya bangsa.  
Daftar pustaka:
 http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/9689









Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Matematika dan Ilmu Alamiah Dasar Tugas 9

Nama  : Intan Justitia Dewi Top of Form Bottom of Form Kelas  : I PA 12 NPM  : 18516337 The Great Blue Hole, Jurang Terdalam ...